Padang - Rekor dunia sipasan terpanjang berhasil dipecahkan Himpunan Tjinta Teman (HTT) Padang. Pemecahan rekor tersebut dilakukan saat Karnaval Budaya Multikultural dengan jumlah peserta mencapai 232 orang dan panjang sipasan 243 meter, kemarin (22/8).
Capaian itu lebih baik dari rekor sebelumnya dicetak negara Taiwan tahun 2011 dengan 200 peserta dan panjang 168 meter. Pencatatan rekor sipasan dengan jumlah peserta terbanyak itu, langsung masuk Guiness Book of Record usai diukur 36 pemantau independen dan seorang juri.
Pengumuman pemecahan rekor itu dilakukan oleh juri Guiness Book of Record, Charim Valerio. Penghargaan atas rekor itu pun diserahkan Charim ke Ketua HTT Padang, Ferryanto Gani.
Tak hanya rekor dunia, HTT juga merengkuh dua rekor Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri). Yakni, rekor sipasan dengan peserta terbanyak 223 anak dengan panjang 245 meter, dan rekor prosesi penguburan dan peti jenazah seberat 614 kg dengan pengangkat peti 2.326 orang.
Suka cita pun membahana tatkala arak-arakan sipasan menjejakkan kaki di depan Axana Hotel, Jalan Bundo Kanduang, Padang, tempat rekor baru tertoreh. Ratusan warga HTT turun ke jalan. Meluapkan euforia mereka. Bahkan, 5.000 kembang api diletuskan ke udara selama satu jam usai prosesi pengumuman rekor dunia.
“Sore ini milik kita. Ini bukti kalau kita bisa berbuat. Mencatatkan rekor dunia, serta mengharumkan nama Indonesia di tingkat internasional. Di tingkat nasional, kami juga memecahkan dua rekor sekaligus. Ini pengobat luka kami, sekaligus kado terindah di ulang tahun ke-150 tahun HTT,” tutur Tuako HTT, Ferryanto Gani kepada wartawan saat setelah rekor dipecahkan.
Arak-arakan sipasan dan pawai budaya multikultural ini dilepas Direktur Pengembangan Minat Khusus Kemenparekraf, Akhyarudin. Sipasan ini melibatkan naga, singa utara, wushu, kio, gambang, sepasan, kuda api-api bugi, perangkat kebudayaan, dan barongsai.
Kemudian, prosesi perkawinan ala Minangkabau, perkawinan ala Tionghoa, karnaval busana Tionghoa masa lalu, prosesi budaya Mentawai, dan lainnya. Pasukan bendera SMA Don Bosco dan marching band SMP Frater. Lalu, puluhan mobil hias serta kereta wisata dengan berbagai pernak-pernik menambah kemeriahan acara.
Arakan ini dimulai dari Jalan Batang Arau, persisnya di bawah Jembatan Siti Nurbaya. Berlanjut ke Jalan Nipah–Jalan Hayam Wuruk–Jalan Gereja-Jalan Bundo Kandung–Jalan Pondok–Jalan Niaga, dan finish di Kelenteng. Jarak tempuh rute ini mencapai 3,9 km.
Warga Padang tumpah ruah turun ke jalan. Rute dilalui sipasan terpaksa disterilkan dari kendaraan. Tidak hanya itu, beberapa ruas jalan Pondok dan sekitarnya juga ditutup.
Pelestarian Budaya
Sementara itu, Direktur Pengembangan Minat Khusus Kemenparekraf, Akhyarudin mengapresiasi upaya HTT Padang memecahkan rekor dunia sipasan, sekaligus upaya pelestarian budaya. “Setiap iven wisata semacam ini, tentunya daerah harus menyiapkan diri pula dalam hal tourist guide, bus pariwisata, restoran dan toko souvenir. Sebab, tamu asing akan datang dan menyaksikan special event tersebut,” kata Akhyaruddin.
Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno juga memuji kegigihan HTT. “Keharmonisan dan kebersamaanlah membuat HTT bertahan selama 150 tahun di Padang. Bahkan, mampu mengharumkan nama bangsa, Padang dan Sumbar ke kancah internasional,” tutur Irwan.
Tim juri Guiness Book of Record Charim Valerio mengatakan, pihaknya melakukan penilaian ketat sebelum menjatuhkan rekor kepada HTT. “Banyak penilaian. Di antaranya, jumlah anak digotong, jarak tempuh dan beberapa poin lagi. Poin pentingnya, jumlah anak digotong per 1 km pertama. Jika itu terlampaui, rekor dunia sipasan ini akan jatuh ke tangan HTT Padang,” tutur Charim saat menggelar jumpa pers, beberapa saat sebelum pemecahan rekor.
Berasal dari Taiwan
Apa sebenarnya sipasan ini? Peneliti etnis Tionghoa Padang dari Universitas Negeri Padang, Dr Erniwati M Hum saat perayaan HUT ke-150 HTT mengatakan, tradisi sipasan ini berasal dari salah satu desa di negara Taiwan. Namun, saat ini sipasan tersebut kehilangan makna. Biasanya, makna sipasan itu sebuah perjuangan, kini hanya sebuah festival saja.
“Saya melihat antara sipasan di Padang dengan Taiwan ini, pola dan pelaksanaannya sama. Tapi, makna yang dianut berbeda. Orang Padang sebenarnya sudah tidak ada makna budaya. Yang ada adalah makna kebersamaan,” kata Erniwati.
Kebersamaan ini, sebut Erniwati, timbul karena organisasi tersebut saling tolong-menolong dengan suku lain. “Perantau kan cenderung mencari tempat berlindung. Ketika mereka sama-sama terlindungi, maka mereka membuat prosesi. Salah satunya, prosesi budaya sipasan ini,” ungkapnya.
Dari kliping koran lokal dan Belanda, kata Erniwati, prosesi sipasan ini telah ada sejak tahun 1894 di Indonesia. “Nah, itu yang membuat kami terkesan, HTT mampu merawat atraksi budaya sipasan ini hingga sekarang,” ujarnya.
Sipasan bagi mereka, sebut Erniwati, penghargaan dari orangtua mencari nafkah sekian lama dan meninggalkan keluarga, kemudian mereka memberikan kebahagiaan kepada putra-putri. “Prosesi sipasan itu merupakan hari kebahagiaan. Karena itu, anak-anak yang duduk di atas sipasan itu,” ujarnya.
Erniwati berharap keberhasilan meraih rekor dunia ini, jadi kebanggaan banga Indonesia.
“Ini aset budaya. Ini seharusnya dilestarikan oleh wali kota Padang, gubernur Sumbar, dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Perlu pengembangan terhadap budaya ini, dan pemerintah diharapkan dapat bekerja sama dengan organisasi ini dalam kemajuan pariwisata,” harap Erniwati.
sumber: Padang Ekspres